Laman

Rabu, 16 Mei 2012

Program Pemberantasan TB Paru


1.      Strategi DOTS
a.       Definisi
DOTS (Directly Observed Treatment Short Course) adalah strategi penyembuhan TB jangka pendek dengan pengaasan secara langsung. Atatu dengan kata lain DOTS adalah pengobatan jangka pendek dengan pengawasan ketat oleh petugas kesehatan atau keluarga penderita. Dengan menggunakan strategi DOTS maka proses penyembuhan TB dapat secara cepat. DOTS menekankan pentinganya pengawasan terhadap penderita TB agar menelan obatnya secara teratur sesuai dengan ketentuan sampai dinyataka sembuh. Strategi DOTS telah tebukti dengan berbagai uji coba lapangan dengan memberikan angka kesembuahan tinggi. Bank dunia menyatakan strategi DOTS merupaka strategi kesehatan yang relative murah pembiayaanya (Aditama, 2002)
DOTS terdiri dari 5 komponen yang tidak dapat dipisahkan yaitu :
1)      Komitmen politis, berupa dudkungan dana jajaran pemerintah/pengambilan keputusan terhadap penanggulangan TB atau dukungan dana operasional
2)      Penemuan penderita dalam pemeriksaan dahak dengan mikroskopis langsung. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti rontgen dan kultur dapat dilaksanakan pada unit pelayanan kesehatan yang memilikinya.
3)      Pengadaan dan distribusi obat yang cukup dan tidak terputus. Tersedianya Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang cukup dan tidak putus bagi penderita
4)      Pengawasan menelan obat. Untuk memastikan keteraturan penderita minum OAT, dibutuhkan seorang pengawas minum obat (PMO), khususnya pada 2 bulan pertama dimana penderita minum obat setiap hari
5)      Sistim pencatatan dan pelaporan data – data perkembangan penyakit TB paru yang baku (Aditama, 2002)
Melalui system pencatatan dan pelaporan yang sama di seluruh unit pelayanan kesehatan akan memudahakan evaluasi. Dengan menggunakan keseragaman definisi kasus berdasarkan kategori penyakitnya, maka pencatatan penderita yang diikuti secara konkrit akan dapat dievaluasi secara berkala. Dalam jangka panjang tujuan program pengobatan pemberantasan TB di Indonesia adalah memutuskan mata rantai penularan, sehingga penyakit TB yang tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Dalam jangka pendek program ini bertujuan untuk memperluas sarana kesehatan secara bertahap hingga mencapai minimal 70% dari total penderita TB yang ada dapat dicatat dan menyembuhkan minimal 80% dari penderita yang ditemukan. Prinsip DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditentukan (Aditama, 2002)

b.      Pengawas Menelan Obat (PMO)
Untuk menjamin kesembuhan dan mencegah resistensi serta keteraturan pencegahan dan drop out (lalai) dilakukan pengawasan dan DoTS melalui pengawasan langsung menelan obat oleh pengawas Menelan Obat (PMO). Bagi penderita TB yang rumahnya dekat dengan puskesmas dan unit pelayanan kesehatan lainnya maka PMOnya adalah petugas puskesmas sedangkan bagi yang rumahnya jauh, diperlukan PMO atas bantuan masyarakat, LSM, PPTI (Perkumpulan Pemberantasan TB Indonesia) dan PKK. Obat harus ditelan setiap ahi yang disaksikan PMO, jika tidak mungkin bagi penderita untuk datang setiap hari ke puskesmas maska petugas puskesmas harus merundingkannya dengan penderita bagaimana caranya agar obat terjamindi telan setiap hari. Sebelum obat pertama kali diberikan, penderita dan PMO harus diberi penyuluhan tentang : TB bukan penyakit keturunan atau kutukan, TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur, bagaimana tata laksana pengobatan penderita pada tahap awal dan tahap insentif, pentingnya berobat secara teratur, karena itu pengobatan perlu diawasi, efek samping obat dan tindakan yang harus dilakukan apabila terjadi efek samping tersebut dan cara penularan dan mencegah penularan (Aditama, 2002)
Adapun yang menjadi persyaratan untuk jadi seorang PMO menurut Depkes (2005) adalah :
1)      Dikenal, dipercaya dan disetujui oleh petugas kesehatan dan penderit, selain itu juga harus disegani dan di hormati oleh penderita
2)      Dekat dengan tempat tinggal penderita
3)      Bersedia membantu penderita dengan suka rela
4)      Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama – sama penderita
Seorang PMO akan bertugas untuk mengawasi penderita agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, member dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur, mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu – waktu yang ditentukan dan memberikan penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang mempunyai gejala – gejala tersangka penderita TB untuk segera memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan (DepKes RI, 2005)

c.       Pengobatan TB paru
Obat yang diberikan kepada penderita TB paru dengan BTA positif adalah OAT ( Obat Anti Tuberkulosis) yang telah deprogram pada tahun 1993/1994. Untuk pengamanan dalam pelaksanaan pengobatan panduan OAT dikemas dalam bentuk blister kemasan harian kombipak (paket kombinasi), dari kombipak I, kombipak II, untuk fase awal dan kombipak III untuk fase lanjutan, oleh karena itu sekali seseorang penderita memulai pengobatan ia harus menyelesaikannya dengan lengkap dan hingga sembuh (DepKes RI, 2002)
Obat anti tuberculosis yang digunakan dalam program pengobatan TB jangka pendekk adalah : Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S) dan Ethambutol (E). oleh karena itu penggunaan Rifampisin dan Streptomisin untuk penyakit lain hendaknya daihindari untuk mencegah timbulnya resistensi kuman. Pengobatan penderita harus didahului oleh pemastian diagnosis. Melalui pemeriksaan laboratorium terhadap adanya BTA pada sampel sputum penderita dan pemeriksaan radiologi (DepKes, 2002)
Pemberian OAT juga harus sesuai dengan berat badan penderita, rata – rata berat badan penderita TB menurut pengalaman petugas kesehatan antara 33 – 50 kg sehingga kemasan dalam blister kombipak I, kombipak II, kombipak III, dan kombipak IV sangat sesuai, bagi penderita dengan berat badan lebih dari 50 kg perlu penambahan dosis. Pemberian pengobatan dengan kombipak sangat efektif dan praktis (DepKes RI, 2002)
Obat yang dipakai dalam program pemberantasan TB sesuai dengan rekomendasi WHO berupa panduan obat jangka pendek yang terdiri dari 3 kategori, setiap kategori terdiri dari 2 fase pemberian yaitu fase awal dan fase lanjutan/intermitten, yaitu pada kategori I (2HRZE/4H3R3), diberikan kepada penderita BTA positif dan penderita baru BTA negative tetapi rontgen positif dengan “sakit berat” dan penderita dengan paru ekstra berat. Diberikan 114 kali dosis harian berupa 60 kombipak II dan faselanjutan kombipak III dalam kemasan dos kecil. (DepKes RI, 2005)
Kategori II (2HRZES/HRZE/5H3R3E3), diberikan kepada penderita dengan BTA (+) yang pernah mengkonsumsi OAT sebelumnya selama lebih dari sebulan, dengan criteria : penderita kambuh (relaps) BTA (+) dan gagal pengobatan (failure) BTA (+) dan lain – lain dengan kasus masih BTA (+). Diberikan 156 dosis, fase awal sebanyak 90 kombipak II, fase lanjutan 66 kombipak IV, disertai streptomisin (DepKes RI, 2005). Kategori III (2HRZ/4H3R3), diberikan kepada penderita baru BTA (-)/ rontgen (+) dan penderita ekstra paru ringan. Pemberian dengan dosis 114 kali. Pada fase awal 60 kombipak I dan fase lanjutan 54 kombipak III. OAT sisipan (HRZE), diberikan pada pengobatan kategori I dan II yang pada fase awal masih BTA (+),untuk ini diberikan obat sisipan selama 1 bulan, dimakan setiap hari (DepKes RI, 2005)
Kategori kasus berdasarkan riwayat pengobatan :
1)      Kasus baru : penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau pernah akan tapi kurang dari 1 bulan
2)      Kambuh/ relaps : pernah dilaporkan sembuh, tetapi datang lagi dengan BTA (+)
3)      Pindahan/ transfer in : telah terdapat dan mendapat pengobatan di tempat pengobatan lain, kini datang berobat serta mendaftarkan diri untuk melanjutakan pengobatan
4)      Pengobatan setelah default/lalai : penderita yang datang setelah berhenti makan obat selama 2 bulan atau lebih
5)      Gagal : penderita BTA (+) yang tetap memberikan BTA (+), walaupun setelah mendapat pengobatan fade awal (DepKes RI, 2005)

d.      Hasil pengobatan dan tindak lanjut
Hasil pengobatan penderita dapat dikategorikan sebagai : sembuh, pengobatan lengkap, meninggal, pindah (transfer out), default (lalai)/DO dan gagal (DepKes RI, 2005). Kategori pertama, penderita dinyatakan sembuh apabila penderita telah menyelsaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan dahak ulang (follow up) paling sedikit 2 kali berturut – turut hasilnya negatif9yaitu pada AP dan atau sebelum AP, dan pada satu pemeriksaan follow up sebelumnya). Contoh penderita yang dinyatakan sembuh apabila hasil pengobatan ulang dahak negative pada akhir pengobatan (AP), pada sebulan sebelum AP dan akhir intensif. Penderita dengan hasil pemeriksaan dahak negative pada AP dan pada akhir intensif (pada penderita tanpa sisipan), meskipun pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum AP tidak diketahui hasilnya. Selanjutnya apabila hasil pemeriksaan dahak negative pada AP dan pada setelah sisipan (pada penderita yang mendapat sisipan) meskipun pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum AP tidak diketahui hasilnya, hasil pemeriksaan ulang dahak negative pada sebulan sebelum AP dan pada akhir intensif (pada penderita tanpa sisipan), meskipun pemeriksaan ulang dahak pada AP tidak diketahui hasilnya. Contoh berikutnya, bila hasil pemeriksaan ulang dahak negative pada sebulan sebelum AP dan pada setelah sisipan (pada penderita yang mendapat sisipan) meskipun pemeriksaan ulang dahak pada AP tidak diketahui hasilnya. Tindak lanjut : penderita diberi tahu apabila gejala muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur tetap (DepKes RI, 2002)
Kategori hasil pengobatan yang kedua, pengobatan lengkap adalah penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak dua kali berturut - turut negative. Tindak lanjut : penderita diberitahu apabila gejala muncul kembali dengan mengikuti prosedur tetap (DepKes, 2002)
Kategori selanjutnya penderita yang pada mas pengobatan diketahui meninggal karena sebab apapun (DepKes RI, 2002). Kategori keempat adalah penderita yang pindah berobat ke kabupaten/kota lain. Tindak lanjut : penderita yang ingin pindah dibuatkan surat pindah dan bersama sisa obat dikirim ke unit pelayanan yang baru (DepKes RI, 2002)
Kategori hasil pengobatan kelima, penderita yang tidak mengambil obat berturut – turut atau lebih sebelum masa pengobatan selesai. Tindak lanjut : lacak penderita tersebut dan berikan penyuluhan pentingnya berobat secara teratur. Apabila penderita melanjutkan pengobatan lakukan pemeriksaan dahak. Bila positif lakukan pengobatan dengan kategori dua, bila negative sisa pengobatan kategori satu dilanjutkan (DepKes RI, 2002)
Terakhir, penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan dahaknya positif atau kembali  menjadi positif pada satu bulan sebelum akhir pengobatan. Tindak lanjut : penderita BTA positif baru dengan kategori 1 diberikan kategori 2 mulai dari aal, penderita BTA positif pengobatan ulang dengan  kategori 2 dirujuk ke UPK spesialistik atau berikan INH seumur hidup. Penderita BTA negative yang hasil pemeriksaan dahaknya pada akhir bulan kedua menjadi positif. Tindak lanjut : berikan pengobatan kategori 2 dari awal (DepKes RI, 2002)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar